by Lila
Mendung menodai birunya langit, menyembunyikan matahari
yang seharusnya menampakkan wajahnya
di kota Jakarta siang itu. Angin berhembus agak kencang dari biasanya
membuat ranting-ranting pohon bergelayutan tak tentu arah hingga daun-daun
kering berkelana kesana kemari.
Lila berlari sekuat tenaga melintasi sepanjang rel
kereta api, melewati jalan sempit menuju sebuah gubuk di pinggiran kota Jakarta
. Napasnya tersengal saat telah mendapati seorang siswa SMU yang masih
mengenakan seragam abu-abu putih sedang duduk menyandar pada tiang gubuk kecil
kumuh itu membelakanginya dan terlihat sedang memandangi langit . Tidak
menyadari kedatangan Lila.
Lila masih mengatur napasnya yang ngos-ngosan setelah
berlarian sekuat tenaga dari SMU Pelita Bangsa yang jaraknya hampir 1 km dari
tempatnya berdiri sekarang. Dirapikannya ikatan rambut panjangnya yang
acak-acakan setelah berlarian tadi. Dia menepis keringat yang membasahi
pelipisnya , merapikan seragamnya dan bergegas menghampiri cowok itu.
Ditepuknya bahu cowok itu agak kasar hingga cowok itu menoleh.
“No, sorry, gue telat. Tadi ada sedikit masalah di sekolah
gue.” Jelas Lila sembari pura-pura
menggaruk-garuk belakang kepalanya. “Wali kelas gue ngelahirin di kelas
pas jam terakhir tadi.” Lila tampak
serius bercerita pada Nino.
Nino tertawa kecil. “Parah lo, wali kelas lo kan Bapak gue.
Lo kira sapi apa, pake acara ngelahirin lagi. Emang parah lo bercandanya.” Nino
menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ulah sahabatnya itu.
“Habisnya Bapak lo killer sih, beda banget sama di rumah lo.
Kalo gue datang pasti disambut kayak mantu kesayangan. Lha di sekolah,
boro-boro disayang, gue disiksa melulu.” Lila mengomel panjang lebar sambil
nyengir sendiri.
“Lo kurang pinter sih, jadi kelebihan bego nya. Gimana mau
disayang coba?” timpal Nino.
“Nah itu masalahnya, habisnya jatah kepinteran gue lo ambil
sih. Gue nggak kebagian kan. Hehe.” Lila nyengir lebar. “Jadinya kan salah lo.”
“Ckckck..Percuma gue debat kusir sama lo. Ngalah deh gue.”
Nino nyerah. Sekali lagi cengiran lebar menghiasi wajah Lila.
Tiba-tiba hujan turun cukup deras. Membuat mereka berdua
terjebak di gubuk itu.
“Yaah, gue nggak bawa jas ujan lagi. Gara-gara nunggu lo
hampir sejam lebih nggak dateng-dateng, hujan kan?. Apa gue bilang.” Omel Nino.
“Sorry deh, sekarang mana barangnya?” Lila minta maaf. Nino
mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Ia mengambil sebuah bungkusan plastik dan
menyerahkannya pada Lila.
“Nih, pesenan lo. Persediaan terbatas soalnya. Jadi maklum
deh kalo harganya selangit.” Nino
menyerahkan bungkusan itu dengan sangat hati-hati. Lila tersenyum puas setelah
mengintip bungkusan itu.
“Gila, lo emang temen gue yang paling keren. Seumur hidup
gue nggak pernah ngerasain kebahagiaan ini. Suer.” Lila mengacungkan dua jari
dan tersenyum lebar pada sahabatnya itu.
“Emang buat apa sih lo nyari-nyari itu barang?” tanya Nino
penasaran.
“Rahasia dong. Pokoknya makasih banget sob, you’re the best
dah.” Lila tersenyum senang. Nino sedikit merona melihat sahabatnya itu
tersenyum. Sepertinya sesuatu telah terbangunkan di dalam dirinya. Dia merasa
lega melihat Lila tersenyum karenanya.
Dia berharap Lila akan selalu tersenyum untuknya.
“Yuk pulang.” Lila mengajak Nino pulang. Nino mengangguk
mantap.
Nino mengambil jaket dalam tasnya dan mengayomi Lila di
bawah jaketnya. Mereka berjalan pulang beriringan di tengah hujan dengan
berlindungkan jaket Nino.
***
Setibanya di rumah, Lila membuka bungkusan plastik dari Nino
dan menaruhnya di mangkuk.
“Kayak gini aja mahalnya selangit. Tuh anak emang cakep deh
kalo masalah duit.Hmm” Lila tersenyum tak henti-henti. Dilihatnya semangkuk kacang
mede itu. “Dikiranya gue nggak tau kalo ni kacang dari Maknya.” Lila terkekeh
geli.
“Oke, sekarang saatnya buat cokelat yang udah mati-matian
gue pelajarin sejak zaman nenek moyang gue. Mumpung Bunda belum pulang.”Lila
mengepalkan tangan sangat bersemangat.
“Fighting!!!” Lila berseru.
Malam itu Nino sedang tidak bisa belajar. Dia penasaran apa
yang akan dikerjakan Lila dengan kacang medenya. Ditulisnya
kemungkinan-kemungkinan yang bersarang di pikirannya.
11. Lila
mungkin calo kacang mede di sekolahnya ? :D
22. Lila
mungkin kurang vitamin B ? masa kena beri-beri ? Kan nggak suka kacang-kacangan
L
33. Lila
mungkin bikin kue ato cokelat ? bentar
lagi kan Valentine. J :D
"Kalo kemungkinan pertama, mana mungkiin??? Gue udah kenal Lila
sejak TK, masa calo kacang mede? Perasaan itu anak nggak ada bakat-bakat bisnis.
Ke pasar aja dikibulin pembeli. Kayaknya enggak deh kalo yang pertama.” Nino
mencoret kemungkinan pertama.
“Kalo kemungkinan kedua, perasaan itu anak sejak lahir nggak
pernah sakit deh. Sakitnya Cuma waktu SD, sakit cacar sama waktu SMA, sakit
anemia. Tapi menurut gue orangnya gatotkaca banget. Nggak gampang sakit deh. Lagian
sekarang dia kan udah sabuk item Taekwondo. Masa superwomen beri-beri??? No
way..” sekali lagi Nino mencoret kemungkinan kedua.
Tinggal kemungkinan ketiga. Nino senyum-senyum sendiri
membayangkannya. Masa sih tu anak bikin
kue ato cokelat? Perasaan tu anak nggak bisa masak deh..Tapi,kalo iya, buat
siapa ya?, pikir Nino. Dia mengacak-acak
rambutnya, berusaha menghilangkan pikiran aneh dari kepalanya. Dia mematikan lampu belajarnya dan pergi
tidur.
***
Di sekolah, Lila sedang menimbang-nimbang keputusannya untuk
memberikan cokelat buatannya pada seseorang yang ia sukai. Kak Nathan,
seniornya sekaligus cowok paling popular di sekolahnya. Kak Nathan orangnya
baik, jago main basket; futsal, gantengnya 11-12 sama Bi Rain artis korea yang
terkenal di Hollywood. Pokoknya Nathan sempurna di mata Lila. Tapi Nathan
kelewat cuek dan tidak respek sama Lila. Meskipun mereka saling kenal tapi bagi
Lila, Nathan memiliki dunia sendiri. Karena takut ditolak, akhirnya Lila
membatalkan niatnya mengungkapkan perasaannya pada Nathan.
Setiap hari Lila hanya memandang Nathan berlalu di
hadapannya. Ia bahkan tidak berani mengajak bicara dan hanya sekedar menyapa.
Meskipun ia hanya bisa melihat sosok Nathan dari balik punggungnya, ia tetap
menyayangi Nathan. Lila menghela napas pelan, akhirnya membuang kotak cokelatnya ke tempat sampah di sampiang ia berdiri dan berlalu pergi.
Hingga waktu pesta Perpisahan angkatan Nathan, Lila masih
tidak mampu mengatakan perasaannya.
“Gue mau ke Perancis. Buat nerusin kuliah di sana. Selamat
berjuang ya dik.” Nathan berkata dengan sedih saat sambutannya di acara itu.
Membuat Lila merasa sedih sekali. Sepertinya Tuhan tak berpihak padanya.
***
Lila berlari menuju Bandara Soekarno Hatta dan membulatkan
tekadnya. Ia tak ingin kehilangan Nathan. Ia tak ingin kehilangan kesempatan
untuk terakhir kalinya. Ia tak peduli akan ditolak atau menunggu Nathan untuk
waktu yang lama. Dilihatnya orang berlalu lalang di hadapannya. Sempat terbersit keraguan di hati Lila,
mampukah ia mengungkapkan perasaannya pada Nathan ?.
“Gue di bandara, No, sepertinya gue bakal ungkapin perasaan
gue sama Nathan, gue sayang sama Nathan dan gue nggak mau kehilangan kesempatan
ini No.” Lila menjawab telepon dari Nino. Lila memutus teleponnya, saat ini ia
tak ingin ada yang merusak tekadnya, tak terkecuali sahabatnya sendiri.
Setelah menunggu
selama kurang lebih setengah jam lamanya, akhirnya Nathan muncul . Lila sontak
berdiri dan menyapa Nathan dengan sedikit gugup. Dilihatnya Nathan menyeret
kopernya dengan susah payah. Nathan tersenyum melihat Lila menyapanya.
“Hai, kak Nathan. Kayaknya emang bener-bener mau pergi ya?”
Lila mencoba bersikap santai. Ia meremas tangannya berusaha mengusir hawa
dingin yang menusuk hatinya.
Nathan hanya tersenyum. Lesung pipit yang menghiasi kedua
pipi Nathan membuat Lila merona. “Yap. Raihlah cita-citamu meski ke negeri
Perancis.”
Kata-kata itu seketika meruntuhkan kepercayaan diri Lila.
Ingin sekali ia meminta Nathan untuk tidak pergi. Batin Lila benar-benar
tersiksa dengan keadaan ini. Matanya mulai berkaca-kaca, ia reflex menundukkan
wajahnya agar Nathan tak melihatnya. Namun akhirnya Lila mengangkat wajahnya
dan menyunggingkan senyum yang terlihat agak dipaksakan. Lila yakin ia cukup
berhasil melakukannya dan syukurlah Nathan masih juga tak menyadarinya.
“Nath,ayo!”
Nathan menoleh ke arah suara yang memanggilnya.
Dilambaikannya tangan Nathan ke arah perempuan itu. “Siapa itu kak?” Lila
memberanikan diri bertanya pada Nathan.
“Kami cukup dekat. Kami berencana pergi bersama.” Jelas
Nathan. Nathan tidak tahu betapa
hancurnya hati Lila.
“Gue pergi dulu ya.” Nathan tersenyum untuk yang terakhir
kalinya.
“Kak, selamat berjuang ya…sampai ketemu lagi.” Lila mencoba
tersenyum meski sangat berat. Dalam hatinya, ia masih berharap agar Nathan
tidak pergi.
Di kepalanya terdengar alunan lagu Pemilik Hati-nya Armada versi ballad.
Kau terindah, kan s’lalu
terindah
Aku bisa apa tuk memilikimu
Kau terindah, kan s’lalu terindah
Harus bagaimana ku mengungkapkannya
Kau pemilik hatiku….
*(Pemilik Hati by Armada)
***
No one ever sees
No one feels the pain
As tears drop in the
rain
I wish upon a star
I wonder way you are
*(Tears drop in the rain by CN BLUE)
Ia berlari dan terus berlari. Menapaki jalan penuh genangan
air. Ia tidak peduli sekalipun ia basah kuyub diterpa hujan lebat. Ia ingin
menumpahkan segala kesedihannya bersamaan dengan hujan yang mengguyurnya. Ia
menangis sejadi-jadinya.
Hingga tempat terakhir yang berhasil ia tuju adalah sebuah
gubuk tempatnya mengadu suka maupun duka bersama sahabatnya. Kali ini ia sangat
butuh sahabatnya itu. Ia berharap sahabatnya ada di dekatnya sekarang. Dari
kejauhan sayup-sayup dilihatnya ternyata sahabatnya sedang menantinya di gubuk
itu. Segala emosi telah tercampur aduk dalam hatinya. Ia tak dapat menahannya
sekarang. .
“Aaaaaarggghhhh…..!!!!!!” Lila berteriak sekuat tenaga
melampiaskan kekecewaannya,kesedihannya,kemarahannya dan penyesalannya. Nino
berlari menuju tempat Lila, tak peduli hujan lebat mengguyur tubuhnya. Yang ia
inginkan hanya menghampiri Lila , menghilangkan segala kesedihannya dan
memeluknya. Menenangkannya. Ia mengusap
air mata yang tersembunyikan air hujan dari pipi Lila.
“Semua akan baik-baik saja.” Nino membisikkan kata-kata itu
sepenuh hati berharap membuat hati Lila
mulai tenang.
Nino menatap Lila dengan rasa sayang sebagai sahabat bahkan
lebih dari itu. Ia meraih tangan Lila.
“Ayo,berteduh.” Nino mengajak Lila menuju tempat mereka. Lila
mengangguk. Nino sekarang sadar apa yang ia rasakan pada Lila. Meskipun ia tak
tahu apa yang akan ia lakukan nantinya dan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Yang Nino tahu, ia hanya ingin Lila ada di sisinya dan bahagia karena dirinya. Namun
mereka hanya saling diam di gubuk itu. Kata hati mereka tak terdengar bagai
tertelan oleh derasnya hujan. Berharap hujan akan menghapus luka yang ada dan
memberi kelegaan bagi keduanya. Sayangnya mereka terlalu sibuk dengan
perasaannya masing-masing.Tak satupun mulai berbicara.
To be continue...